Jumat, 22 Agustus 2014

FRAUD Dalam Dunia IT

Fraud merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain.


 



Fraudster dalam dunia telekomunikasi adalah orang atau organisasi yang secara sengaja melakukan kecurangan-kecurangan untuk mendapatkan berbagai fasilitas yang disediakan oleh penyedia jasa telekomunikasi.
Dalam dunia IT, menurut saya, fraud sangat jelas terlihat. Seperti pada saat melakukan pembajakan sebuah software, sebenarnya kitaa sudah melakukan fraud itu. Selain merugikan perusahaan software, fraud dalam hal ini pembajakan software, marak terjadi di Indonesia, bahkan Indonesia sering di sebut negara pembajak terbesar di dunia.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kegiatan para fraudster di dunia IT, karena, untuk sebagian perusahaan software, fraudster sering di manfaatkan untuk mencari popularitas atau membuktikan kelarisan dari software yang dikeluarkan persahaan tersebut.
Secara hukum, para fraudster dapat di jerat UUD pelanggaran hak cipta, namun terkadang pembuktiannya sangat sulit, selain karen sistem hukum di Indonesia yang terkadang kurang maksimal, para fraudster sendiri pandai berkelit.
Dalam segi ekonomi, fraud sering disebut-sebut sebagai pembajakan kartu kredit atau sejenisnya. fraud sangat banyak di temukan dalam kasus kartu kredit, meskipun sekarang ini para penegak hukum sangat mengantisipasi hal tersebut, dan para bank juga mencoba meminimalisir terjadinya fraud kartu kredit para nasabahnya, tidak bisa di pungkiri bahwa, semakin maju teknologi yang di gunakan, semakin mudah pula para fraudster melakukan kejahatannya. Dan sekali lagi, itu bisa dikatakan sebagai kemajuan IT yang tidak diiringi dengan kemajuan SDM_nya.

Contoh Kasus

Fraudster secara sengaja melakukan kecurangan-kecurangan untuk mendapatkan berbagai fasilitas yang disediakan oleh penyedia jasa telekomunikasi. Mereka melakukan dengan memanfaatkan kelemahan teknis sistem atau perangkat telekomunikasi itu sendiri, kelemahan manajemen atau pengelola telekomunikasi.
 
Sayangnya, problem dan penyebabnya belum banyak diketahui oleh pihak pengelola maupun pengguna, kecuali mereka (yang menjadi korban fraud) harus menerima tanggungan rekening telepon yang besar. 
 
Contoh kasus yang paling banyak terjadi disekitar kita adalah pencurian pulsa dengan cara memparalel pair kabel telepon (cip on fraud). Ini merupakan penyelesaian alternatif dari beberapa konsep penyelesaian terhadap kasus pencurian pulsa lewat paralel kabel telepon (subscribe) yang pernah ada. Dengan menggunakan asumsi-asumsi teori dan empiris, dibangun beberapa asumsi cara/proses penggagalan terhadap kasus clip on fraud.
 
Disinilah, kemudian didesain sebuah sistem proteksi jaringan line telepon terhadap clip on fraud dengan menggunakan pembacaan taraf-taraf tegangan. Dengan diuji dan dianalisis secara teoritis sekaligus dibantu software CM2000 diharapkan desain yang dibangun memiliki perfoma yang baik dan aplikatif.

Undang-Undang ITE

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan. Selama ini, tindak pidana penipuan sendiri diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), dengan rumusan pasal sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Walaupun UU ITE tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan, namun terkait dengan timbulnya kerugian konsumen dalam transaksi elektronik terdapat ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menyatakan:
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sesuai pengaturan Pasal 45 ayat (2) UU ITE. Jadi, dari rumusan-rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE dan Pasal 378 KUHP tersebut dapat kita ketahui bahwa keduanya mengatur hal yang berbeda. Pasal 378 KUHP mengatur penipuan (penjelasan mengenai unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP silakan simak artikel Penipuan SMS Berhadiah), sementara Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik (penjelasan mengenai unsur-unsur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE silakan simak artikel Arti Berita Bohong dan Menyesatkan dalam UU ITE).
Walaupun begitu, kedua tindak pidana tersebut memiliki suatu kesamaan, yaitu dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Tapi, rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tidak mensyaratkan adanya unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Pada akhirnya, dibutuhkan kejelian pihak penyidik kepolisian untuk menentukan kapan harus menggunakan Pasal 378 KUHP dan kapan harus menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Namun, pada praktiknya pihak kepolisian dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, polisi dapat menggunakan kedua pasal tersebut.
Lepas dari itu, menurut praktisi hukum Iman Sjahputra, kasus penipuan yang menyebabkan kerugian konsumen dari transaksi elektronik jumlahnya banyak. Di sisi lain, Iman dalam artikel Iman Sjahputra: Konsumen Masih Dirugikan dalam Transaksi Elektronik juga mengatakan bahwa seringkali kasus penipuan dalam transaksi elektronik tidak dilaporkan ke pihak berwenang karena nilai transaksinya dianggap tidak terlalu besar. Menurut Iman, masih banyaknya penipuan dalam transaksi elektronik karena hingga saat ini belum dibentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan yang diamanatkan Pasal 10 UU ITE. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar